Resmi Dilaporkan, BASMI Riau Minta Kejati Riau Periksa Sejumlah Pejabat Dinas PUPR Meranti

 



PEKANBARU, Topriaunews.com - Barisan Masyarakat Bersih dari Korupsi (BASMI) Provinsi Riau telah secara resmi melaporkan sejumlah pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) serta pejabat di lingkungan Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Kepulauan Meranti ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, pada Rabu (30/7/2025).


Langkah hukum ini merupakan bentuk dorongan serius kepada aparat penegak hukum untuk segera menindaklanjuti dugaan penyimpangan dan potensi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan APBD Kabupaten Kepulauan Meranti tahun anggaran 2023 hingga 2025.


“Hari ini kami telah menyerahkan dokumen laporan resmi ke Kejati Riau. Laporan ini kami dasarkan pada temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI), serta dugaan kuat keterlibatan sejumlah pejabat daerah dalam praktik korupsi yang sistematis,” kata Ketua BASMI Provinsi Riau, Fadli Akbar, kepada SuaraLira.Com ketika di hubungi.


Fadli menambahkan, laporan tersebut mencakup indikasi penyalahgunaan wewenang, belanja tidak sesuai prosedur, pengadaan barang dan jasa yang sarat praktik kolusi, hingga potensi kerugian negara yang belum dipertanggungjawabkan sesuai peraturan perundang-undangan.


Bukti dan Landasan Hukum Pelaporan


Pelaporan ini, kata Fadli, turut merujuk pada Pasal 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 serta Pasal 8 ayat (3) dan (4) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang menegaskan bahwa bila ditemukan unsur pidana, BPK wajib melaporkan kepada aparat penegak hukum.


BASMI juga menekankan pentingnya Kejati Riau menindaklanjuti laporan masyarakat berdasarkan amanat Pasal 102, 106, dan 107 KUHAP, serta larangan melakukan pembiaran atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 221 KUHP dan Pasal 21 UU Tipikor terkait obstruction of justice.


“Kami tidak ingin laporan ini hanya dianggap sebagai formalitas. Rakyat menanti tindakan nyata dari aparat penegak hukum,” tegas Fadli.


Bukti-Bukti Awal dan Dugaan Pelanggaran


BASMI Provinsi Riau menyoroti sejumlah hal yang patut diselidiki Kejati Riau, antara lain:


Penyimpangan pada perencanaan, penganggaran, hingga realisasi dan pencairan anggaran;


Surat pertanggungjawaban yang tidak sesuai ketentuan dan berpotensi merugikan negara;


Ketidaksesuaian volume, kualitas, dan harga satuan pekerjaan;


Spesifikasi pekerjaan tidak sesuai kontrak, yang berdampak pada kelebihan pembayaran;


Sistem pengadaan yang tertutup dan sarat praktik korupsi serta monopoli.


Fakta Persidangan dan Indikasi Keterlibatan


Selain mengacu pada audit BPK, BASMI Provinsi Riau juga menyampaikan bahwa beberapa pejabat yang dilaporkan pernah disebut dalam fakta persidangan kasus korupsi dan gratifikasi yang menjerat mantan Bupati Meranti, Muhammad Adil. Dalam persidangan tersebut, jaksa penuntut umum KPK dan sejumlah saksi mengungkap adanya setoran dari Dinas PUPR dan Sekretariat Daerah kepada bupati sebagai bentuk gratifikasi.


BASMI menyampaikan kepada Kejati Riau bahwa fakta-fakta persidangan itu harus dijadikan pijakan awal dalam membuka penyelidikan baru dan mendalami peran para pihak yang terlibat.


Masyarakat Akan Kawal Proses Hukum


BASMI menegaskan akan terus mengawal proses ini dan siap membawa laporan ke tingkat Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika tidak ada tindak lanjut nyata dari Kejati Riau dalam waktu yang wajar sesuai aturan perundangan.


“Laporan sudah masuk. Sekarang tinggal kita lihat: apakah hukum masih berpihak pada keadilan, atau tunduk pada kuasa,” pungkas Fadli.


Aktivis Penggiat Anti Korupsi : Meranti Darurat Korupsi


Menanggapi laporan tersebut, penggiat anti korupsi Riau, Ade Permana ketika  dihubungi media menyatakan dukungannya dan mengembalikan Marwah Kepulauan Meranti yang selama ini dianggap sebagai “zona merah korupsi” akibat banyaknya kasus yang mandek di penegakan hukum.


“Sudah ada dokumen (data), ada saksi, dan ada dugaan kerugian negara. Minimal dua alat bukti sudah cukup untuk penyelidikan. Jangan tunggu publik kehilangan kepercayaan total terhadap lembaga hukum,” ujarnya.


Jika laporan tersebut tidak ditanggapi atau ada penyelesaian diluar jalur hukum, nanti kita akan rapatkan barisan untuk menyampaikan kepada Presiden Prabowo baik secara langsung atau melalui Kepala staf Presiden, bahwa inilah realita Supremasi Hukum di Wilayah Riau hanya sebuah dagelan pepesan kosong dan omon-omon sebagai pencitraan lift service semata", sebutnya lagi.


Tak berlakunya fungsi dan Amanat dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sudah jelas UU tentang pidana korupsi bersifat khusus dan harus diperhatikan secara khusus. Itulah sebabnya UU korupsi tidak ada PP atau permen yang mengatur lebih lanjut karena sudah jelas dan terang benderang tanpa perlu lagi adanya penafsiran atau anasir apapun", lanjut Ade Permana.


Selanjutnya dia mengatakan, dalam proses pengaduan sudah sesuai dan mengacu pada standarisasi UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHP dalam Pasal 108 disebutkan dalam Ayat (4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda-

tangani oleh pelapor atau pengadu, Ayat (5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh 

penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik dan Ayat (6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik 

harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan 

kepada yang bersangkutan.


Jangan sampai ada issue miring lagi yang selama ini berkembang terkait adanya mafia hukum sebagai obstruction of justice menjadi penghalang dalam menegakkan keadilan seperti disebutkan dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP serta Pasal 21 UU tentang Tindak Pidana Korupsi", tutup Ade Permana.


Sebagai Referensi berdasarkan aturan perundangan :


Sesuai Pasal 221 ayat (1) KUHP berbunyi :

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:


1. Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;


2. Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.


Selain itu, Obstruction Of Justice menurut Pasal 21 UU tentang Tindak Pidana Korupsi menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).” ()

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama