Pekanbaru, Topriaunews.com
Integritas saat ini menjadi jargon yang sering diungkapkan di berbagai forum. Semua sepakat bahwa integritas menjadi pondasi penting dalam menata masa depan bangsa. Namun, dalam praktik empirik harapan tersebut masih jauh untuk menjadi kenyataan. Tetapi kita tidak boleh berputus asa untuk terus berjuang bersama dalam menyobgsong Indonesia Emas agar menjadi negara maju dan sejahtera seluruh rakyatnya.
*"Integritas adalah kesetiaan pada nilai, bukan pada nama atau kelompok."*
Setiap tahun, pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, bangsa ini kembali diingatkan pada satu kata kunci: *"integritas"*
Kata ini terdengar agung dan ideal. Kita sering mendengarnya dalam seminar, pelatihan etika, atau jargon birokrasi. Tapi ketika masuk ke dunia nyata, terutama dalam lanskap politik dan kekuasaan, maknanya bisa bergeser, bahkan terdistorsi.
*Apa Itu Integritas?*
Secara umum, integritas adalah kesatuan utuh antara nilai, ucapan, dan tindakan. Ia meliputi kejujuran, konsistensi, dan komitmen moral. Dalam KBBI, integritas adalah "mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan."
Banyak juga yang menyebut integritas sebagai keutuhan karakter, sebagaimana dijelaskan oleh Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People:
*“Integrity is the value we place on ourselves.”*
Artinya, integritas bukan sekadar citra, tapi siapa kita saat tak ada yang melihat.
*Kemunduran Makna: Lahirnya “Integritas Kelompok”*
Namun kini, muncul realitas baru yang mengusik nurani: integritas tidak lagi ditujukan kepada bangsa, tapi kepada kelompok.
Dalam dunia partai politik dan kekuasaan, loyalitas kepada kelompok justru menjadi standar utama. Orang-orang yang taat dan solid terhadap kelompoknya lebih cepat naik posisi—bahkan lebih dihargai daripada mereka yang setia pada prinsip dan kepentingan publik.
Maka muncul istilah baru: *"Integritas kelompok."*
Orang yang *"berintegritas kelompok"* akan:
* Jujur kepada kelompok, bukan kepada publik.
* Konsisten menjalankan agenda kelompok, bukan amanah rakyat.
* Siap menanggung risiko pribadi, asalkan melindungi nama besar kelompok.
* Jika tersandung kasus korupsi, mereka rela diam. Tak menyeret nama lain, bahkan siap dipenjara demi "solidaritas". Ini bukan fiksi. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023 menunjukkan bahwa mayoritas pelaku korupsi adalah kader partai atau orang dekat kekuasaan, namun jarang ada efek berantai dalam pengungkapan kasus—karena satu orang tutup mulut untuk banyak orang.
*Mengapa Ini Berbahaya?*
Fenomena ini sangat berbahaya karena membajak makna integritas. Ia menjadikan politik bukan lagi soal nilai, melainkan soal transaksi. Seorang “berintegritas” tak lagi berarti jujur dan berpihak pada rakyat, tapi loyal terhadap kelompok, bahkan jika itu berarti menyembunyikan kejahatan.
Inilah distorsi integritas.
Ketika “jujur kepada kelompok” lebih dihargai daripada “jujur kepada negara”, kita sedang menyaksikan penggerusan moral publik secara sistemik.
*Quo Vadis, Integritas Bangsa?*
Ke mana arah integritas kita hari ini? Apakah kita masih punya harapan melihat politikus atau pejabat yang berdiri tegak untuk bangsa, bukan hanya untuk kelompok?
Apakah kita masih mungkin melihat pemimpin yang setia pada konstitusi, bukan hanya pada perintah partai?
Pertanyaan ini tak mudah dijawab. Tapi satu hal pasti: jika bangsa ini ingin keluar dari krisis korupsi, kita harus mengembalikan integritas ke tempat asalnya: kepada negara, rakyat, dan nurani. Bukan kepada elit, kelompok, atau jaringan kekuasaan.
*Penutup: Menghidupkan Kembali Makna Integritas*
Memperingati Hari Anti Korupsi tidak cukup dengan slogan. Kita perlu evaluasi mendalam:
Apakah sistem politik kita memberi ruang bagi orang berintegritas sejati?
Apakah pendidikan kita menanamkan nilai integritas sejak dini?
Apakah masyarakat menghargai kejujuran lebih dari kepintaran manipulasi?
Jika tidak, kita hanya akan melahirkan generasi yang pandai menjaga citra, tapi rapuh dalam prinsip.
Mari kita jaga integritas bukan sebagai jargon, tapi sebagai kompas moral bangsa. Bukan demi kelompok, tapi demi masa depan Indonesia.
Penulis : Dede Farhan Aulawi
Editor : Tata/Dhan
Posting Komentar