Meranti, Topriaunews.com
Adanya pelanggaran aturan perundangan dalam pelaksanaan pekerjaan dan APBD dalam rentang waktu 3 tahun ini oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Kepulauan Meranti sangat menyedihkan. Kali ini, sorotan tertuju pada beberapa kegiatan dan pekerjaan di Dinas PUPR yang tidak sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan daerah dan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Informasi dan fakta di lapangan menyebutkan, banyak pekerjaan yang dilakukan sebelum kontraktual ditandatangani. Ironisnya, pelanggaran aturan hukum yang mengikat tersebut terjadi setiap tahunnya sesuai dengan bermacam-macam bentuk pelanggaran. Informasi valid dan faktual yang didapatkan melalui Kabid Cipta Karya Feni Utami saat dikonfirmasi oleh salah satu Media mengatakan, memang benar adanya pelaksanaan pekerjaan oleh Dinas PUPR yang mendahului kontrak. Hal ini jelas telah melanggar aturan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Pengadaan barang dan jasa pemerintah.
*Hasil Investigasi Ternyata Bukan Satu Kasus*
Dari hasil penelusuran dan investigasi media ini, ditemukan adanya pola pekerjaan terlebih dahulu dikerjakan baru menyusul dokumen administrasi seperti berita acara atau kontrak. Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik pelanggaran administratif dan teknis serta kesengajaan yang berulang-ulang dalam memenuhi aspek kepatuhan hukum sudah menjadi kebiasaan buruk di lingkungan dinas terkait, yang patut diduga sengaja diciptakan untuk membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi yang tersistematis dan masif.
*Menu E-Katalog Diduga Bocor*
Selain persoalan waktu pelaksanaan, pengadaan melalui e-Katalog juga menjadi sorotan. Ditemukan adanya menu E-Katalog dari penyedia ternyata identik dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Hal ini memunculkan kecurigaan, apakah HPS bocor ke penyedia? Jika ya, siapa yang membocorkannya? Ataukah memang sudah dikondisikan sejak awal antara dinas dan penyedia? Kondisi ini memperkuat dugaan adanya pelanggaran serius, tersistematis dan masif.
*Temuan BPK-RI dalam LHP 2023*
HASIL PEMERIKSAAN BPK menyebutkan :
A). Hasil keluaran (output) tidak sesuai dengan kondisi dengan real di lapangan.
B). Volume atau kuantitas pekerjaan telah dihitung dan diketahui secara jelas, kenapa tidak dilakukan kegiatan secara kontraktual agar dapat meminimalisir resiko pekerjaan yang tidak selesai.
C). Dalam pelaksanaan Swakelola tipe I ini, Dinas PUPR dalam hal ini Bidang Cipta Karya tidak menggunakan sumber daya sendiri dalam pelaksanaan pekerjaan untuk Penyediaan bahan material, upah pekerja dan pengangkutan material serta mobilisasi alat melainkan dengan pihak ketiga/penyedia.
D). Dalam uji petik BPK RI ditemukan adanya pihak ketiga yang berhutang kepada toko dengan alasan hal tersebut dilakukan Dinas PUPR karena tidak memiliki akses langsung sehingga akan kesulitan dalam menjamin ketersediaan material.
E). Dalam pekerjaan Swakelola tipe I Tim penyelenggara Swakelola harus memiliki sumber daya yang cukup dan kemampuan teknis untuk melaksanakan Swakelola. Namun dilapangan berdasarkan keterangan PPK/PPTK ternyata tim Swakelola Dinas PUPR hanya melakukan pekerjaan admistrasi dan pengawasan. Sedangkan pelaksanaannya baik itu material, alat, dan tenaga kerja dilakukan langsung oleh penyedia.
F). Mekanisme pembayaran pekerjaan dilakukan secara tunai. Ternyata dari seluruh pelaksanaan Swakelola terhadap pekerjaan gedung dan bangunan pembayarannya dilakukan dengan mekanisme UP, GU dan TU. Dalam hal ini seluruh pencairannya dilakukan secara tunai (Cash) kepada penyedia jasa oleh Dinas PUPR dalam hal ini KPA/PPTK nya.
Dari HASIL UJI PETIK BPK RI tersebut sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, diantaranya :
1). Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang sudah diubah menjadi Perpres Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah pada pasal 6 huruf e.
2). Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) nomor 3 tahun 2021 tentang pedoman Swakelola pada point 1 sub point 1.3 dan Point 1 sub point 1.4 juga point 3 sub point 3.1.5.
Terkait kegiatan Swakelola di Dinas PUPR sesuai hasil review dokumen pekerjaan Swakelola di Dinas PUPR Kepulauan Meranti dilaksanakan dengan metode Swakelola Tipe I pada tahun 2023 lalu, banyak mengundang tanya apalagi ketika adanya beberapa kegiatan yang dilakukan kelebihan bayar.
*Temuan BPK dalam LHP 2024*
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK mengenai kepatuhan pengelolaan keuangan daerah tahun 2024, ditemukan sejumlah persoalan signifikan, antara lain:
1. Adanya pembatasan pemeriksaan sehingga tidak diperoleh bukti cukup mengenai nilai utang belanja (tunda bayar) yang belum diselesaikan.
*_Salah satunya terkait adanya PPK di LPSE beberapa waktu lalu, saat BPK meminta akun PPK LPSE untuk dapat di akses dalam proses pemeriksaan audit, PPK terkesan mempersulit atau upaya merintangi BPK dalam proses audit yang pada akhirnya diberikan juga. Jika benar, hal ini melanggar Pasal 24 ayat (1) dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)._*
2. Pertanggungjawaban Belanja Barang dan Jasa melalui mekanisme UP/GU tidak sesuai ketentuan.
*_Masih banyaknya ditemukan SPJ terkait pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun 2024 dalam pengelolaan keuangan daerah khususnya pencairan dana UP dan GU masih ditemukan ketidaksesuaian dengan aturan dan ketentuan yang berlaku dan terjadinya kelebihan bayar._*
3. Permasalahan ketidaksesuaian kualitas dan volume pekerjaan, ketidaktepatan penyesuaian harga satuan, dan ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dalam pelaksanaan Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan, yang mengakibatkan kelebihan pembayaran.
*_Masih banyaknya temuan dilapangan terhadap mutu dan kualitas serta volume pekerjaan yang tidak sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku diselidiki karna adanya unsur kesengajaan dan terjadi berulang-ulang setiap tahunnya. Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah._*
*Adanya keterlibatan pejabat PUPR dengan kasus yang ditangani oleh KPK berdasarkan fakta persidangan*
*_Berdasarkan "fakta persidangan" sebagaimana yang diungkap dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut KPK dalam persidangan kasus Korupsi dan Gratifikasi terdakwa Muhammad Adil tahun 2022, Dinas PUPR Kepulauan Meranti adanya melakukan setoran (gratifikasi) sebesar Rp 1,8 miliar yang dilakukan oleh pejabatnya diantaranya Fajar Triasmoko._*
Selain itu, Fajar Triasmoko Kadis PUPR Kepulauan Meranti sesuai fakta persidangan lainnya pernah mengungkapkan kesaksian dihadapan majlis hakim bahwa ia pernah memberikan sejumlah uang gratifikasi kepada M. Fahmi Aressa mantan Auditor Badan Pemeriksaan (BPK) Riau, secara langsung bertemu dengan Fahmi di basement Mall Pekanbaru dan menyerahkan uang tunai sebesar Rp. 150 juta pada akhir Februari 2023. Seminggu sebelumnya Sugeng Widodo, Kabid Sumber Daya Air PUPR juga telah menyerahkan uang tunai sejumlah Rp. 150 juta kepada Fahmi Aressa di Hotel Red 9 Selatpanjang pada pertengahan Februari 2023.
Pada Desember 2024 yang lalu rumah pribadi Kepala Dinas PUPR di Jalan Sedulur, Banglas Barat, digeledah oleh KPK dalam kaitannya dengan kasus korupsi dan gratifikasi mantan Bupati Haji Adil. Alhasil, beberapa dokumen penting dilaporkan turut diamankan.
*Adanya perusahaan yang Monopoli pekerjaan diduga ada keterkaitannya dengan Pejabat Dinas PUPR*
Perlu diketahui juga, adanya beberapa perusahaan yang sering mendapatkan pekerjaan dalam jumlah yang besar setiap tahunnya. Setelah dilakukan investigasi dilapangan, diduga adanya hubungan kekerabatan antara direksi dengan salah satu Pejabat Dinas PUPR yang diduga sebagai pemodal belakang layarnya. Patut diduga karena intervensi dari pemilik modal tersebut, mengakibatkan proyek-proyek termasuk swakelola bisa dikondisikan dengan skala besar sehingga terkesan monopoli pekerjaan dan adanya unsur kejahatan jabatan dan berpotensi melakukan pidana korupsi.
*_Menurut Maruli Purba, SH Ketua Gerakan Mahasiswa Bersatu Provinsi Riau", Sesuai peraturan hukum, suatu pekerjaan pengadaan barang dan jasa pemerintah dilarang untuk dikerjakan sebelum penandatanganan kontrak. Dan ASN apalagi pejabat tidak boleh ikut serta dalam mengatur kegiatan lelang atau proyek. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 dan larangan ikut bermain proyek atau mengatur proyek melanggar PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, khususnya Pasal 14 yang mengatur tentang larangan bagi Pegawai Negeri Sipil untuk melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas dan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil. Selain itu, larangan ini juga diatur dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang melarang Pegawai Negeri Sipil untuk ikut serta dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah._*
Dewasa ini, tindak pidana korupsi seolah makin membudaya di kalangan para pejabat kabupaten Kepulauan Meranti. Salah satunya sektor yang rawan untuk dijadikan sebagai ladang subur pelaksanaan korupsi adalah di bidang pengadaan barang/jasa dan pencairan GU.
Serangkaian pelanggaran dan ketidakpatuhan terhadap hukum perundangan oleh Dinas PUPR Meranti ini menimbulkan banyak pertanyaan, mengapa masih terjadi dan tak kunjung diberi sanksi tegas, sebagaimana diatur dalam Perpres 16 Tahun 2018 jo Perpres nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
.
*Ancaman Hukum dan Pertanggungjawaban*
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi atau orang lain dapat dijerat Pasal 12B ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, dengan ancaman penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar. Ini juga sejalan dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN dan PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
*Kewajiban Melaporkan tindak pidana dan Ancaman Obstruction of Justice*
UU Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 108 ayat (3) mewajibkan setiap pegawai negeri yang mengetahui terjadinya dugaan tindak pidana untuk segera melapor kepada penyelidik atau penyidik. Jika tidak, dapat dijerat Pasal 221 ayat (1) KUHP tentang obstruction of justice, dengan ancaman pidana penjara 9 bulan. Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi.
*Supremasi Hukum Harus Ditegakkan*
Jika supremasi hukum tidak ditegakkan dan penyimpangan terus dibiarkan tanpa sanksi, maka fungsi hukum sebagai alat keadilan akan kehilangan makna. Percuma saja ada supervisi atau sosialisasi jika hanya menjadi formalitas. Untuk itu, Kepala Daerah harus tegas memberikan sanksi kepada bawahan yang melanggar aturan agar menciptakan efek jera.
Sesuai Pasal 1 ayat 22 UU No. 1 Tahun 2004 dan Pasal 1 ayat 15 UU No. 15 Tahun 2006, tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyatakan bahwa KERUGIAN NEGARA adalah : Kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan MELAWAN HUKUM baik SENGAJA maupun LALAI.
*Sangsi terkait Ketidakpatuhan dan pelanggaran kode etik atau disiplin pegawai negeri*
Kepala Daerah Kepulauan Meranti harus memberikan sanksi sesuai aturan hukum berlaku ketika bawahannya tidak taat dan patuh serta melanggar aturan perundangan khususnya pengelolaan keuangan daerah agar tidak terulang kembali serta adanya efek jera. Jika tidak memberikan sanksi wajar saja jika hal itu terjadi lagi untuk di tahun berikutnya. Hal ini diatur dalam Perpres nomor 12 tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2021 tentang Kode Etik dan Disiplin PNS.
Jika ada penyimpangan yang terbukti dalam LHP BPK, hal itu bisa dijadikan dasar penyidikan oleh aparat penegak hukum. Hubungan antara BPK dan APH menjadi kunci terwujudnya tata kelola keuangan yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab.
إرسال تعليق