Dugaan Pelanggaran Aturan Kembali Mencuat Ditubuh Dinas PUPR Meranti


Meranti, Topriaunews.com-Dugaan pelanggaran aturan kembali mencuat di tubuh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Kepulauan Meranti. Sorotan terbaru tertuju pada kegiatan rehabilitasi berat Kantor Bupati, khususnya pada pekerjaan interior plafon dan ada beberapa pekerjaan lain yang dilakukan dahulu sebelum kontrak. Hal ini ketika dikonfirmasi oleh salah satu media online diakui oleh Kabid Cipta karya benar adanya dengan alasan untuk menyambut 17 agustusan, Rabu (04/06/2025).


Dikutip dari salah satu media online, hasil Investigasi di lapangan mengungkap bahwa pekerjaan fisik, seperti pemasangan plafon, telah dimulai sejak September 2024. Namun, berdasarkan informasi yang dihimpun media ini, kontrak pekerjaan baru ditandatangani pada bulan November 2024. Artinya, pekerjaan dilakukan lebih dulu, baru kemudian menyusul administrasi. Padahal, aturan menyatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan tidak boleh mendahului kontrak.


Ironisnya, kegiatan tersebut berlangsung bersamaan dengan pemeriksaan semesteran yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sekitar bulan September. Kabid Cipta Karya Dinas PUPR, Feni Utami, bahkan sempat dipanggil oleh BPK untuk memberikan klarifikasi. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa pekerjaan memang telah berlangsung tanpa dasar hukum yang sah, dan melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


Kata orang, waktu itu sangat berharga. Tapi sayangnya, sebagian oknum di Dinas PUPR Meranti seolah tak pernah belajar dari masa lalu. Perlu diingat, kantor ini pernah digeledah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus gratifikasi yang melibatkan mantan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil.


Tak hanya itu, dalam fakta persidangan di Pengadilan Tipikor, terungkap bahwa pejabat dari dinas tersebut terbukti memberikan gratifikasi kepada Haji Adil, baik dalam bentuk uang tunai maupun bentuk lainnya. Bahkan, dalam persidangan juga terkuak bahwa uang juga mengalir kepada auditor BPK bernama Fahmi Aressa, sebagai bagian dari upaya menyuap agar opini WTP tetap dipertahankan.


Fakta-fakta ini menegaskan bahwa praktik pelanggaran administratif dan etik bukanlah hal baru di dinas ini. Justru dugaan pelanggaran pada proyek rehabilitasi Kantor Bupati tahun 2024 ini menjadi bukti bahwa kebiasaan buruk tersebut belum berhenti  bahkan terus berulang.


Dari hasil penelusuran lebih lanjut, ditemukan indikasi bahwa pola serupa juga terjadi pada proyek-proyek lain di lingkungan Dinas PUPR. Pelaksanaan fisik lebih dulu, dokumen menyusul belakangan. Ini bukan hanya bentuk pelanggaran administratif, melainkan membuka potensi tindak pidana korupsi yang serius. Praktik semacam ini menunjukkan bahwa lemahnya budaya kepatuhan hukum telah menjadi kebiasaan buruk yang dibiarkan berulang.


Selain masalah waktu pelaksanaan, proses pengadaan melalui e-Katalog juga menjadi sorotan. Pasalnya, menu e-Katalog dari penyedia disebut-sebut identik dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang disusun oleh dinas. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah HPS telah bocor ke pihak penyedia? Atau justru sejak awal telah terjadi pengondisian?


Praktik semacam ini bertentangan dengan prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah yang mengharuskan pelaksanaan secara efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.


Ketua Gerakan Mahasiswa Bersatu Provinsi Riau, Maruli Purba, SH, menyatakan bahwa pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan sebelum adanya kontrak jelas merupakan pelanggaran hukum. "Kontrak adalah dasar hukum bagi pelaksanaan pekerjaan. Tanpa itu, semua pelaksanaan fisik tidak sah secara hukum," ujarnya kepada media pada 28 Mei 2025.


Ia menambahkan bahwa Perpres Nomor 16 Tahun 2018 jo. Perpres Nomor 12 Tahun 2021 secara tegas melarang pekerjaan dilakukan sebelum adanya dokumen kontrak yang sah. Bahkan dalam KUHPerdata Pasal 1313, ditegaskan bahwa perjanjian merupakan bentuk kesepakatan hukum yang mengikat dua pihak.


Sementara itu, mantan Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Zet Tadung Allo, mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen kasus korupsi di Indonesia berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa. "Ini sektor yang sangat rawan, penuh dengan mark-up dan manipulasi. Banyak yang belum terungkap. Seperti gunung es," tegasnya.


Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terbaru tahun 2024 atas kepatuhan pengelolaan keuangan daerah, ditemukan sejumlah temuan serius. Salah satunya adalah terbatasnya akses BPK terhadap data yang dibutuhkan dalam audit, seperti akun LPSE yang diduga sempat dipersulit oleh oknum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).


Padahal, Pasal 24 Ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang BPK menyatakan bahwa setiap pihak wajib memberikan informasi dan data secara lengkap dan tepat waktu kepada BPK. Dugaan upaya menghalangi proses audit adalah bentuk pelanggaran serius.


Mengelola keuangan daerah bukan hanya soal administrasi, tapi soal integritas dan kepatuhan terhadap hukum. Hal ini seharusnya dijalankan dengan mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.


Dugaan pelanggaran seperti ini harus menjadi perhatian serius aparat penegak hukum, termasuk BPK, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Penelusuran lebih lanjut perlu dilakukan untuk membongkar apakah praktik ini adalah bagian dari pola sistematis yang telah berlangsung lama di tubuh Dinas PUPR Kabupaten Kepulauan Meranti.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama