Banda Aceh, Topriaunews.com - Pada kunjungan kerjanya ke Kejaksaan Tinggi Aceh hari ini, Guru Besar Hukum Pujiyono Suwadi mengemukakan bahwa praktik yang dikenal sebagai “denda damai” bagi pelaku korupsi—terutama dalam kasus ekonomi seperti perpajakan, perbankan, dan asuransi memiliki landasan hukum yang jelas. Ia menunjuk Pasal 35 Undang-Undang Kejaksaan sebagai dasar pengenaan denda tunai dalam tindak pidana ekonomi.26 Juni 2025
Dalam pertemuan bersama jajaran Kejati Aceh, Pujiyono menyoroti bahwa praktik yang populer disebut sebagai “denda damai” terhadap pelaku tindak pidana ekonomi seperti perpajakan, perbankan, dan asuransi, memiliki legitimasi hukum. Hal ini merujuk pada Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Kejaksaan, yang memberi kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyelesaian di luar persidangan terhadap perkara tertentu.
Pujiyono menegaskan bahwa penerapan konsep “restorative justice” di tingkat korupsi belum tertuang dalam undang-undang, melainkan hanya diatur melalui kebijakan seperti peraturan Kapolri atau Kejaksaan. Menurutnya, ini karena tidak ada norma formal yang mengatur restorative justice dalam konteks tindak pidana korupsi.
“Ini bukan kompromi hukum, tetapi bagian dari upaya pemulihan kerugian negara secara cepat dan efisien. Terlebih jika tidak ada unsur suap atau gratifikasi dalam kasus tersebut,” ujar Pujiyono.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa konsep restorative justice belum berlaku dalam konteks tindak pidana korupsi, karena belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang. Menurutnya, pendekatan ini baru dapat diberlakukan secara utuh jika terdapat perubahan legislasi.
Terkait usulan hukuman mati bagi pelaku korupsi yang marak di masyarakat, Pujiyono mengingatkan bahwa hal itu bukanlah solusi utama.
"Oke dipidana mati, sekarang saya tanya, negara mana yang melakukan pidana mati terus angka korupsi indeks persepsinya tinggi? China? Nggak. China hanya 4,2. Indonesia 3,7. Nggak jauh-jauh amat. Myanmar malah di bawah Indonesia," jelasnya.
Lebih lanjut, Pujiyono menjelaskan efek positif kebijakan “double tax” di sektor perpajakan bahwasannya penerapan denda administratif dua kali lipat atas tunggakan pajak berhasil menurunkan piutang dan meningkatkan penerimaan negara. Ia menyarankan penerapan model serupa dalam kasus korupsi—seperti denda sepuluh kali lipat dari kerugian negara—untuk mendorong kepatuhan dan pemulihan dana.
“Nah, kalau pajak itu empat kali lipat, korupsi dilebihin-lah, misalnya 5 kali atau 10 kali lipat. Untuk bayar, misalnya dia korupsi Rp 1 miliar, dia balikin Rp 10 miliar, clear," ujarnya.
Selanjutnya Pujiyono menyampaikan bahwa hukuman badan tidak hanya merenggut kemerdekaan pribadi, namun tidak memberikan rasa keadilan di masyarakat. Lain halnya lagi apabila melalui penyitaan harta.
“Ketika hartanya disita dan dirampas oleh negara melalui mekanisme denda damai, maka uang pengembalian dan denda itu dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, butuh kemauan politik dari para pembuat undang-undang, termasuk masyarakat yang harus lebih memperhatikan bahwa inti korupsi adalah motif ekonomi.” Tambahnya.
Untuk itu Pujiyono Suwandi berharap masyarakat perlu memperhatikan motif dari tindakan korupsi dan mengetahui mekanisme pemiskinan melalui denda serta hukum pidananya dilakukan melalui KUHAP baru serta ia menambahkan banyak pidana pokok di Indonesia yang bisa diterapkan ke pelaku korupsi. Salah satu yang disampaikannya terkait denda damai korupsi tersebut sebagai terobosan dalam penegakan hukum dengan kondisi saat ini di Indonesia.
Posting Komentar